Search

Senin, 08 Mei 2017

Pondasi Al Maqamat

RESUME

Pondasi Al Maqamat
Dosen Pengampu : Dr. Ja’far, MA


Oleh :

Nama         : MUHAMMAD HARIYANTO    
NIM           : 0705163067


UNIVERSITAS ISLAM  NEGERI SUMATERA UTARA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
PRODI FISKA

2017




KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia Nya dalam mengarungi hidup ini. Salawat dan salam kita ucapkan kepada Rasul junjungan umat alam yang telah membawa kita dari zaman yang penuh kejahiliaan menuju zaman yang penuh rahmat dan ridha Allah SWT.
            Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari Nya, sehingga resume ini dapat kami selesaikan. Resume kami ini berjudul “ Pondasi Al Maqamat ”. Dengan penjelasan dalam resume ini di harapkan kepada para pembaca lebih memahami tentang definisi dan tujuan tasawuf supaya dapat menjadi nilai tambah dalam mempelajari islam.
            Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan gambaran materi yang harus di selesaikan dan juga semua pihak yang telah membantu menyelesaikan resume ini. Saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan hati terbuka agar makalah ini lebih sempurna pada masa yang akan datang.


Medan,    April  2017





                                                                                                        
                                                                                                                          Penulis

























BAB I
PEMBAHASAN


Pondasi al-Maqamat

Dalam risalah al-Qusyairiyah, al-qusyairi menjelaskan menyepi (khalwah) adalah sifat ahli sufi, dan mengasingkan diri (‘uzlah) menjadi tanda seseorang telah bersambung dengan Allah Swt. Khalwah adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan al-Haqq. Sedangkan ‘uzlah (mengasingkan diri) adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk orang lain.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa peraktik mengasingkan diri memiliki banyak manfaat bagi seorang penempuh jalan spiritual:

1.        Dapat mengosongkan diri hanya beribadah kepada Allah Swt.

2.        Dapat melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang bisa dilakukan dan dihadapi manusia selama hidup bermasyarakat.

3.        Membebaskan diri dari kejahatan-kejahatan manusia.

4.        Memutuskan diri dari kerakusan manusia dan kerakusan terhadap dunia.

5.        Membebaskan diri dari penyaksian atas orang-orang yang berperangai buruk dan bodoh.

6.        Menghasilkan ketaatan dalam kesendirian dan terlepas dari perbuatan tercela dan larangan Allah Swt.

Urgensi khalwah dan ‘uzlah bagi salik dalam menapaki jalan spiritual yang terjal adalah bahwa salik memerlukan konsentrasi diri dan jauh dari gangguan public yang dapat merusak kekhusyukan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. Menurut al-Qusyairi, ‘ibadah atau ‘ubudiyah adalah melaksanakan segala apa yang diperintahkan, dan menjauhi segala yang dilarang. Menurut ‘Umar Suhrawardi, seorang salik mengamalkan berbagai bentuk wirid yang terus menerus diulang oleh smua sufi, antara lain la ilaha illallah, ya Allah, ya Hu, ya Haqq, ya Hayy, ya Qayyum dan ya Qahhar.

Seorang sufi yang bernama Abu Ali al-Ruzabari menjelaskan bahwa “ketahuilah bahwa dasar dan tiang mujahadah adalah menyapih nafsu dari kebiasaan-kebiasaannya dan membawanya pada penentangan hawa nafsu dalam semua waktu. Sedangkan sufi lain, Hasan al-Qazaz, mengatakan bahwa “mujahadah dibangun atas tiga hal:

1.      Tidak makan bila sangat butuh.

2.      Tidak tidur kecuali mengantuk, dan

3.      Tidak berbicara kecuali terdesak.

Langkah menuju amal yang benar adalah mengetahui hukum-hukum syariat (al-ahkam al-syari’ah), memahami alquran (al-kitab), sunnah (al-sunnah), ijmak salaf (ijma’al-salaf), akidah ahlussunnah waljamaah, dan ilmu makrifat (‘ilm ma’rifah).



Al-MAQAMAT

Pengertian
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat atau kedudukan. Dalam Sufi Terminology,The Mystical Language of Islam,maqam diterjemahkan sebagai spiritual. Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya (Mujahadah) dan ketulusan dalam menempuh jalan spiritual. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya. Dengan demikian kualitas-kualitas tingkatan tersebut akan senantiasa melekat, semakin tinggi kedudukan yang dicapai maka akan sempurna dan utuh kualitas dari diri seseorang.

Tingkatan Maqamat
1)    Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan diikuti dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah. Yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Ibnu Taimiyah membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan yang meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan melakukan perkara-perkara makruh. 

2)    Wara’
Wara’,secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Disamping meninggalkan sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam sufi, wara’ suga berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan,baik berwujud benda dan perilku. Selain itu,juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat. 
Para ahli tasawuf juga membagi  wara’ menjadi dua yaitu wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.

3)    Zuhd
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Dengan kata lain Zuhd adalah menjauhkan diri dari apapun yang dapat memalingkan dari Tuhan. Dalam pandangan kaum sufi, dunia dan segala isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan. Ketika seorang sufi tidak lagi terbelenggu oleh kehidupan duniawi dan hanya membutuhkan Allah, maka dengan sendirinya ia telah sampai pada derajat kefakiran faqr. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi. Dalam tasawuf,Zuhd merupakan maqam yang yang sangat menentukan.

4)    Farq
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir dipandang sebagai sikap hidup yang tidak terlalu berlebihan atau memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa yang telah diterimakan kepadanya. Karena segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah menjadi milik Allah SWT. Kebanyakan para sufi memilih untuk hidup miskin karena semakin banyak harta benda yang dimiliki akan semakin menyulitkan mereka dihari kiamat. Kekayaan atau kenikmatan duniawi adalah sesuatu yang dapat memalingkan seseorang dari Tuhannya.Untuk dapat menghilangkan diri dari golongan duniawi dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Oleh karenanya orang yang faqr pada dasarnya adalah orang yang telah mencapai maqam sabr.

5)    Shabr
Sabar, secara harfiah,berarti tabah hati.Sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Kesabaran merupakan suatu kekuatan yang membuat diri seseorang dapat bertahan dari segala macam dorongan dan gangguan yang datang dari luar dirinya.
Sedemikian pentingnya sabar dalam kehidupan manusia,maka para sufi menjadikan sabar sebagai maqamah yang teramat penting untuk dilalui dalam perjalanan spiritualnya.

6)    Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Sehingga seseorang yang telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah,tidak ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah. Seseorang yang ada pada maqam tawakkal akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap dan optimis dalam bertindak.

7)    Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Ridla adalah buah dari tawakkal.Dimana jika seorang sufi telah bebar-benar melaksanakan tawakkal maka dengan sendirinya ia akan sampai pada maqam ridha.
























BAB II
PENUTUP
Kesimpulan

            Al-maqamat adalah tingkatan antara seorang hamba dengan Allah Swt. Tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, dari tingkatan paling mendasar ssampai tingkatan paling tertinggi, yaitu dekat dengan Allah Swt, yang diperoleh salik secara mandiri melalui pelaksanaan ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara terus menerus.Dalam memperoleh maqam tertentu, selain wajib menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah, seorang salik harus melakukan khalwah dan uzlahdalam melaksanakan perjalanan spiritual menuju Allah Swt. Hierarki al-maqamat darimaqam pertama sampai maqam paling puncak terdiri dari 7 bagian yaitu sabar, tobat, fakir, zuhud, tawakal, cinta, dan rida’.


DAFTAR PUSTAKA
Ja'far, Gerbang Tasawuf, Medan: Perdana Publishing, 2016
Abdul, Muhayya, Maqamat dan Ahwal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar